CIKPUAN – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa cuaca panas yang terjadi di Indonesia belakangan ini bukan akibat gelombang panas (heatwave), tetapi karena dipicu oleh peralihan musim.
Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulisnya di laman BMKG, Senin (6/5/2024), BMKG telah melakukan pengamatan suhu dan berdasarkan pengamatan tersebut fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas.
“Memang betul, saat ini gelombang panas sedang melanda berbagai negara Asia, seperti Thailand dengan suhu maksimum mencapai 52°C. Kamboja, dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yaitu 43°C pada minggu ini. Namun, khusus di Indonesia yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya,” ungkap Dwikorita.
Dia juga mengatakan, kondisi maritim di sekitar Indonesia dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan mengakibatkan naiknya gerakan udara. Hal ini memicu terjadinya penyanggaan atau buffer kenaikan temperatur secara ekstrem dengan terjadi banyak hujan yang mendinginkan permukaan secara periodik.
Suhu panas yang terjadi merupakan akibat dari pemanasan permukaan. Hal ini sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan. Sama halnya dengan kondisi ‘gerah’ yang dirasakan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, hal tersebut juga merupakan sesuatu yang umum terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau.
“Periode peralihan ini umumnya dicirikan dengan kondisi pagi hari yang cerah, siang hari yang terik dengan pertumbuhan awan yang pesat diiringi peningkatan suhu udara, kemudian terjadi hujan pada siang menjelang sore hari atau sore menjelang malam hari,” katanya.
Sedangkan pada malam hari, kondisi gerah serupa juga dapat terasa jika langit masih tertutup awan dengan suhu udara serta kelembaban udara yang relatif tinggi. Selanjutnya, udara berangsur-angsur dirasakan mendingin kembali jika hujan sudah mulai turun.**/ara